Pada saat ini, perkembangan musik angklung mulai berubah, itu berawal dari Daeng Sutisna yang berhasil mengubah tangga nada petatonis menjadi diatonis (do,re,mi,fa,sol,la,si,do) pada tahun 1983. Dan perkembangan itu pun terjadi, misalnya pada KTT Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat. Musik Angklung modern dimainkan untuk acara resmi dalam Indonesia Ultimate Diversity, yaitu dalam lagu Indonesia Raya dan beberapa lagu daerah yang terkenal seperti Rasa Sayange, Ayo Mama, Burung Kakak Tua dan Bebek Angsa.
Jika dilihat dari bentuknya, alat musik ini tergolong unik, dan cara memainkannya pun tak seperti alat musik yang lain. Dengan cara menggoyangkannya hingga menghasilkan suara, sepertinya terdengar atau terlihat mudah. Namun sebenarnya ada cara tersendiri dalam memainkan alat musik tradisional ini agar dapat terciptanya suaru alunan lagu yang indah dari suara bambu-bambu yang bergoyang. Setelah terciptanya angklung dengan nada petatonis, ini memungkinkan alat musik tradisional angklung dimainkan sendiri tanpa harus berkolaborasi dengan alat musik yang lain untuk menjadikan suatu lagu yang indah.
Seiring dengan adanya perkembangan mengenai alat musik tradisional angklung di Indonesia telah membuat banyak kalangan yang mulai menyukai alat musik ini. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa kalangan musisi di Indonesia yang ingin bermain musik diiringi dengan angklung ini. Selain itu dapat pula dilihat dari segi dunia pendidikan. Sudah mulai ada beberapa sekolah yang menjadikan alat musik tradisional ini sebagai bahan ajaran dalam sekolah. Lalu ada pula suatu sekolah seni yang memang khusus mempelajari alat-alat musik tradisional di Indonesia, tentu di sana juga ada alat musik tradisional angklung ini.
Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Angklung Di Mata Dunia
Pada 2008 terdapat 11.000 pemain angklung di Jakarta dan 5.000 pemain angklung di Washington DC dan memecahkan rekor terbaru saat itu. Sejak November 2010, UNESCO sudah mencatat angklung sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) April 2015 sebanyak 20.704 orang berkumpul bersama-sama di Stadiun Siliwangi Bandung untuk memainkan lagu “I Will Survive” dan “We Are The World” dengan menggunakan alat musik angklung. 4.117 di antaranya adalah anak berkebutuhan khusus. Sejarah angklung telah berubah dari yang tadinya hanya diperdengarkan di daerah Sunda sekarang seluruh dunia sudah mengenal musik angklung.
0 Comments