1.1. Materi dan Aransemen
a). Musik Angklung Tradisional
Musik angklung tradisional menggunakan tangga nada pentatonic slendro
maupun pelok. Tangga nada slendro bila dikuasikan dengan tangga nada barat bunyinya
seperti nada-nada: c, d, e, g, a (do, re, mi, sol dan la) tangga nada seperti ini banyak di
gunakan di wilayah Asia. Sedangkan tangga nada pelog bunyinya seperti: e, f, g, b, c (mi, fa, sol, si). Masing-masing daerah menggunakan nada-dasar sendiri-sendiri, tidak
sama antar daerah yang satu dengan yang lain. Jaap Kunst menuliskan nada-nada
angklung Banyuwangi sebagai berikut:
“The tunning of this instrument is-or, at any rate, tends to slendro, as is evident
from the intervals of specimen in the musichological archives at Batavia, which
originates from Banyuwangi:
298 350 414 457 544 596
I 279 II 290 III 172 IV 301 V 158 I
(Kun, 1933: 198).
Sedangkan pada halaman lain angklung slendro juga di daerah Tasikmalaya
diungkapkan sebagai berikut:
Scale of an angklung set from Tasikmalaya:
174 1961 217 247½ 280 355 392 447 504
I II III IV V VI VII VIII IX”
(Kun,1933: 362)
Dalam tangga nada diatonic Barat pitchnya tidak sama persis namun suara yang
terdengar nada-nada angklung tersebut mirip dengan nada-nada ini:
261½ 293½ 329½ 392 440 523
c’ d’ e’ g’ a’ c”
Aransemen dalam musik tradisi masih sangat sederhana, aransemen musik
dalam permainan hanya membunyikan nada-nada yang sama tetapi dengan instrument
yang bersuara lebih rendah (alat-alat basnya) atau lebih tinggi satu oktaf. Variasi
ritmik yang diperbanyak antar angklung yang satu dengan yang lain, misalnya ada yang
mebunyikan pada beatnya, per satu ketukan ada yang membunyikan setiap setengah
ketukan atau bahkan sepermepat ketukan sehingga musiknya menjadi meriah walaupun
kekayaan nadanya kurang karena hanya meliputi lima nada pelog atau slendro.
b). Musik Angklung Diatonik
Angklung ini disebut Angklung diatonic karena nada-nadanya disesuaikan
dengan skala nada diatonic yaitu do, re, mi, fa, sol, la, si do, jadi tidak berskala nada
Pentatonik (da-mi-na-ti-la-da) seperti pada angklung tradisional. Angklung Diatonik ini
biasa juga disebut Angklung Padaeng karena Daeng Soetigna yang pertama kali
membuat dan memperkembangkannya. Daeng Soetigna, seorang guru HIS pada zaman
colonial Belanda di Kabupaten Kuningan Jawa Barat yang telah mengangkat derajat
angklung di tengah masyarakat. Pada tahun 1938, dengan dibantu Bapak Jaya yang
terbiasa membuat angklung daerah (Angklung Sunda), Pak Daeng telah berhasil
membuat 1 set angklung Diatonik Angklung Diatonik dikembangkan oleh Daeng
Soetigna pada tahun 1938. Angklung di daerah sunda dan di beberapa di tanah air
sebelumnya penalaannya menggunakan tangga nada pentatonic. Angklung diatonic
yang telah dibuat ini kemudian digunakan oleh Bapak Daeng untuk mengajar anak-anak
Pramuka. Sejak saat itulah maka angklung model diatonic berkembang sampai
sekarang. (Winitasasmita, 1978: 14)
Angklung diatonic terdiri dari tiga bagian besar yaitu: (1). Angklung Melodi, (2)
Angklung Akompanyemen. Angklung Melodi terdiri dari dua tabung, tabung pertama
merupakan nada pokok dan tabung kedua merupakan nada satu oktaf lebih tinggi.
Semua tuning sistemnya menggunakan standar musik Barat internasional yaitu
frekwensi a= 440’. Jelajah Angklung melodi ini berkisar mulai dari nada C oktaf besar
hingga c’’’ biasanya masing-masing angklung diberi nomer kode angka. Angklung
Akompanyemen berfungsi untuk mengiringi maka setiap angklungnya memiliki tiga
tabung yang merupakan nada-nada akor, misalnya angklung akompanyemen C memiliki
tiga tabung dengan nada-nada: c, e dan g; demikian seteursnya akor-akor yang lain,
merupakan perpaduan anggota akor dalam satu ancak angklung.
Aransemen musik angklung diatonic bisa sangat kompleks karena memiliki
nada-nada kromatik dan range wilayah yang sangat luas sehingga memungkinkan model.
Aransemen tinggkat sederhana hanya satu garis melodi dengan iringan akompanyemen samapai dengan model harmoni orkesttra, penulis sejak tahun 1992 menggabungkan
angklung diatonic dengan symphonic orchestra karena memiliki model aturan yang sama.
Contoh Aransemen sederhana:
Do = C Bungaku Lagu:C.Simanjuntak
6/8 Arr. Susilo Pradoko
Akomp. C F C Am G C
Melodi: 5 5 . 3 1 6 5 . . 3 . 3 2 . 3 1 . 2 3 . . 0 0 5
Wak tu me nying sing fa jar, pa gi su nyi se nyap.
1.2. Nilai Filosofis: Tradisional; Modern; Postmodern.
a). Nilai-Nilai Filosofis Budaya Tradisional
Dalam permainan musik tradisional ada adat istiadat ritual yang menyatu
permainannya untuk kesuksesan bersama atau ritual religi yang didukung sehingga
muncul nilai-nilai: mengolah kepekaan rasa (roso pangroso), permainan tidak
berdasarkan hitungan tetapi lebih komunikasi musical antar instrument satu dengan
yang lain; muncul kebersamaan, individu tidak boleh menonjol melatih menguasai ego
dan pengendalian diri, “aku”, “diri” melebur (manunggal roso) menyatu dalam
komunitas musik menuju keharmonisan alam untuk institusi maupun untuk yang Maha
Agung maka biasanya tidak ada pengarang maupun pembuat aransemen maupun pelatih
yang ditonjolkan , muncul rasa solidaritas dan gotong-royong antaranggota musik.
b). Nilai-nilai Filosofis Budaya Modern
Sejak penggunaan tangga nada diatonic barat, cirri-ciri budaya modern dapat
tampak jelas dalam fenomena permainan angklung ini. Budaya modern memiliki ciri
berlaku universal, universal sciens, teori-teori universal, berlaku seluruh dunia termasuk
untuk ilmu-ilmu sosial seperti halnya ilmu alam. Akhyar Yusup Lubis menuliskan
sebagai berikut:
“Pengetahuan alam disebut sebagai Naturwissenschaften sedangakan ilmu
humaniora disebut sebagai Geistewissenschaften. Sebagaimana dikemukakan
Schleiermacher, Dilthey, Gadamer, maupun Habermas, ilmu pengethuan alam
berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam yang seragam, fenomena yang statis .
dan terkontrol maka metode kuantitatif empiris dianggap tepat diterapkan untuk
menjelaskan fonomena alam dan menemukan hukum-hukum alam. …..”
(Lubis, 2004: 56).
Ciri modern juga mengagungkan rasionalitas, pengetahuan bebas nilai,
pengetahuan absolute Glenn Ward mengungkapkan sebagai berikut :
“… The exact character of this age, as well as the precise dates of its beginning
and end, has been described in defferent ways by historians, but it is often
associated with faith in: *progres * optimism * rationality * the search obsulute
knowledge in science, technology, society, and politics * the idea that gaining
knowledge of the true self was the only foundation for all other knowledge.“
(Ward, 2003 : 9).
Pada masa modern ini memandang seni untuk seni itu sendiri bukan untuk
religious, politik,sosial atau yang lainnya. Seni memiliki aturan-aturan ilmiah yang ketat
untuk menghasilkan karya-karya standar yang baik. Gelnn Ward menuliskan sebagai
berikut:
“Modernism similarly believes that art is essentially independent and selfgovernings. Although this idea of the autonomy of art has been expressed in many
different ways, one of the most common is to perpose that works of art are
intrinsically different from all other sorts of object. They are governed, if it all, by
rules and interest not found else where, and they provoke special kinds of response
in their audience. Art does not have to justify itself economically, politically,
morally, or in terms of it use. It is free from social convention. It is just art“.
(Ward, 2003: 43)
Dari ciri-ciri filosofi modern dan seni modern tampak bahwa kesenian angklung
setelah dengan sistem diatonic menjadi angklung modern yaitu: hukum berlaku
universal, individu menonjol, bebas dari nilai-nilai aturan religi, sangat kuantitatif
dengan perhitungan yang lebih rijid.
Hukum universal: hukum universal berlaku tatkala penalaan menjadi standar seluruh
dunia semua instrument menjadi satu hukum yaitu dasar penalaan yang sama
(a’=440) dengan penalaan ini maka semua instrument yang tergabung memiliki
jelajah range oktaf yang semua frekwansi nadanya standar bila angklung oktaf di
bawahnya (a harus 220) dan di bawahnya lagi (A harus 110) bila frekuwensinya
kurang maka tidak boleh dimainkan sebab akan tidak in pitch atau dianggap fales.
Model ini membuat angklung dapat digabungkan dengan instrument barat lain
bahkan seluruh instrument orchestra.
Individu Menonjol: “aku”, “diri” tidak malu-malu lagi ditonjolkan sebab memang
pada dasarnya setiap orang memegang angklung yang harus dibunyikan pada
saatnya, bila dia lupa maka bisa terjadi nada melodinya hilang satu atau dua, juga
hilang susunan akornya. Selain itu periode ini tidak malu lagi menyebut pengarang
lagu angklung, pengaransemen, pelatih dan sebagainya, ada penonjolan diri.
Penghitungan Kuantitatif: Semua dihitung dengan cermat mulai dari penomoran
nada-nada angklungnya, angklung mana saja yang harus dipakai, ada berapa
anak/anggota yang akan memainkan apakah cukup semua nada-nada dalam
aransemen dimainkan oleh anggotanya, seseorang diserahi tugas memegang/ memainkan angklung berapa saja.
Seni angklung untuk angklung: Pada periode ini tidak ada lagi ikatan dengan nilai.
nilai religi tetapi lebih mengutamakan keindahan komposisi dan aransemen
musiknya.(l’art pour l’art), Teknik komposisi dan aransemen mengikuti aturan
aturan baku dalam bentuk melodi dan harmoni, aturan-aturan ilmu harmoni barat
menjadi acuan dalam mengaransemen angklung, termasuk budaya tulis dalam notasi
balok maupun angka.
Nilai Postmodern muncul ketika angklung dimainkan bersama orchestra dan
karawitan menjadi satu muncul dialog dalam kolaborasi terpadunya model kepekaan
rasa,roso pangroso, manunggal roso untuk instrument karawitan dan model scientific,
matematis, logis penuh perhitungan matang pada model angklung diatonic dan
Orchestra dengan pendistribusian nada-nada dalam berbagai instrument dan
pengorganisasian musical melalui distribusi nada hinga akhirnya muncul perpaduan
antara natural science dan social science.
0 Comments