Bambu adalah lambang perjuangan. Dahulu bambu runcing untuk melawan penjajah, kini berjuang lewat bambu nyaring,

Angklung. Alat musik tradisional bernada ganda (multitonal) ini warisan budaya Sunda yang dapat menghasilkan nada yang merdu. Dari literatur sirat Babad Sunda, Angklung di ceritakan sangat erat kaitannya dengan budaya agraris masyarakat Sunda yang mengandalkan pertanian sebagai penghidupan.

Ketika hendak menanam padi, masyarakat Sunda zaman dahulu memainkan Angklung di tengah sawah yang akan ditanaminya. Ritual memanggil Dewi Padi agar tanamannya tumbuh baik dan menghasilkan panen yang banyak. Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah.

Jadi Angklung merujuk nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap. Filosofinya, menurut Karuhun Urang Sunda jaman dahulu,kehidupan manusia diibaratkan seperti tabung angklung. Tabung tersebut mempersonifikasikan manusia, yakni menggambarkan bahwa manusia harus hidup bersosialisasi.

Tak hanya itu, tabung angklung yang tediri dari tabung besar dan kecil mengibaratkan perkembangan manusia. Kedua tabung tersebut mempunyai makna bahwa manusia tahu dan paham akan batasan – batasan dirinya, menciptakan keharmonisasian dalam kehidupan masyarakat.

Angklung dapat dibuat menggunakan 2 jenis bambu, yaitu bambu hitam dan bambu putih. Dari dua varian bambu ini, dapat dibuat menjadi beberapa jenis, yaitu Angklung Dogdog Lojor, Angklung Kanekes, Angklung Badeng, Angklung Gubrag, Angklung Indung, Angklung Panempas, Angklung Enclok, Angklung Ambrug, Angklung Pancer, Angklung Bungko, Angklung Badud, Angklung Ciusul, Angklung Sunda, Angklung Padaeng, dan masih banyak lagi.


Pada masa kerajaan Sunda, angklung digunakan di antaranya sebagai penyemangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Di angklung, semua anggota wajib menyanyikan notasi lagu berdasarkan bagian angklung yang dipegangnya. Tak jarang masalah pun datang dari hasil proses latihan angklung ini. Masalah muncul ketika anggota tidak menyanyikan notasi, seringkali tempo dan dinamika lagunya berubah, terkadang terlalu pelan, atau kecepatan, bahkan ada yang membunyikannya terlalu halus, maupun terlalu kuat. Dari tidak menyanyikan notasi juga dijumpai masalah baru, anggota sulit menghapal lagu, dan sering lupa membunyikan angklung, sehingga lagu tersebut menjadi bolong atau terputus. Masalah lain terjadi ketika anggota tidak datang latihan. Nada angklung tidak akan lengkap, yang menyebabkan sebuah lagu tidak dapat dimainkan. Masalah-masalah tersebut sangat penting diketahui anggota, bahwa mereka merupakan komponen penting pencipta suatu mahakarya lagu, selain alat musik angklung sendiri.
Tempo dan Dinamika merupakan komponen penting terciptanya suatu lagu yang mampu menyampaikan pesan dan emosi kepada kita sebagai pendengar atau penikmatnya. Tempo atau ketukan merupakan cepat lambatnya notasi dibunyikan, serta dinamika merupakan pelan kerasnya suara yang dibunyikan. Nenek moyang kita selalu menjunjung tinggi pribahasa, "Di mana langit dipinjak, di situ langit dijunjung, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, atau ringan sama dijinjing,berat sama dipikul", yang artinya kita harus menyesuaikan diri dimanapun kita berada, bersikap adil, saling mengingatkan dan gotong royong. Menyesuaikan diri dengan tempo dan dinamika bermasyarakat di mana kita hidup, tinggal, berkeluarga, hinggamencari rezeki. Tidak boleh ada yang melampaui batasnya. Seperti sebuah nada, jika ada yang terlalu cepat, atau lambat, terlalu kuat atau pelan, akan menghasilkan suara yang tidak seimbang dan cenderung menjadi sumbang. Nah,seperti itulah kehidupan manusia. Agar semuanya berjalan seimbang, harus mau mengikutibatas-batasnya, batas-batas norma dan etika yang berlaku, dan semuanya harusmampu menjalankan peranannya masing-masing tanpa mengganggu, mendahului atau mengambil hak-hak yang bukan miliknya. Sama seperti notasi musik pada bukumusik yang memiliki aturan tempo, dan dinamika. Semua harus bertanggungjawab pada dirinya masing-masing, dengan tetap memberikan perhatian pada yanglainnya. Dalam angklung diibaratkan seperti tabung bambu yang selalu lebih dari satu, ada tabung yang besar, ada tabung yang kecil. Morfologi dari bentukangklung tersebut juga mencerminkan pandangan bahwa yang kuat harus dapatmelindungi yang lemah. Saling membantu dan gotong royong tanpa saling berjauhan atau bahkan melupakan.
Inilah yang dapat dijadikan pandangan untuk membentuk kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Tidak pandang bulu, tidak memandang siapa aku, atau siapa kamu, kita tetap satu saudara sebangsa dan setanah air. Semua orang boleh bermain angklung, begitu pula dalam hidup bermasyarakat, semua orang memiliki kesempatanyang sama. Mereka dapat menjadi pelatih atau konduktor (pemimpin lagu), asalkan mereka mengetahui ilmunya, begitupula untuk menjadi pemimpin, setiap orangpun dapat menjadi pemimpin asalkan mereka mengetahui cara memimpin dengan penuh etika, kejujuran, dan tanggung jawab.