CALUNG
ANGKLUNG





Berikut Adalah Perbedaan Angklung dan Calung

    1. Calung
         Calung Sunda merupakan prototipe dari alat musik angklung, terdiri dari susunan tabung bambu yang dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat, baik dalam posisi duduk atau berdiri di tempat menggunakan dua pemukul, dan bisa juga sambil berjalan dengan menggunakan satu alat pemukul saja. Cara menghasilkan bunyi nada seperti itu menjadikan calung tergolong sebagai alat musik “idiophone”, yaitu alat musik yang sumber bunyinya berasal dari badan si alat musik sendiri. Calung juga termasuk kelompok alat musik perkusi yang dimainkan dengan cara dipukul, diguncang, atau saling memukul sesamanya. Tahun enam puluhan hingga tujuh puluhan, permainan calung yang dikemas dalam bentuk “bebodoran” selalu dinanti oleh para pemirsa TVRI. Saat itu stasiun televisi milik pemerintah ini benar-benar mengangkat budaya nasional dalam setiap acaranya, sedangkan acara televisi asing hanya sebatas beberapa serial film dan film lepas. Pengembangan seni Calung Sunda yang dipadukan dengan unsur gerak, lagu, dan lawakan atau bebodoran bukan sekedar untuk pemuasan kebutuhan hiburan masyarakat, tetapi juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan banyak orang saat kegiatan informasi penyuluhan.



             
 Ada dua jenis calung yang berkembang di tanah Sunda, yaitu “Calung Rantay” atau “Calung Renceng” dan “Calung Jinjing”:
        Calung Rantay atau Calung Renteng. Penyebutan rantay atau renceng karena bambunya diuntai memanjang, biasanya ujung untaian berbilah panjang diikatkan pada pohon atau tiang rumah karena sebenarnya calung renteng adalah perangkat hiburan pribadi. Komposisinya ada yang berbentuk satu deretan atau  dua deretan, yang besar disebut calung indung (calung induk) dan yang kecil disebut calung rincik (calung anak). Jumlahnya 7 wilahan (ruas atau bilah bambu) tetapi bisa juga lebih hingga 12-17 wilahan yang mencapai 2 oktaf atau lebih. Satu oktaf instrumen calung rantay merupakan urutan 5 nada yaitu da (1), mi (2), na (3), ti (4), la (5). Cara memainkan calung rantay dipukul menggunakan dua buah alat pemukul sambil duduk bersila. Seni Calung Renteng ini banyak dikenal di wilayah Banten Kidul.
  1.                 Calung Jinjing. Jenis calung ini terbentuk dari deretan tabung-tabung bambu yang digabungkan oleh paniir (bilah bambu kecil). Calung jinjing berasal dari bentuk calung rantay yang dibuat menjadi empat bagian instrumen terpisah, seperti calung kingking (12 bilah bambu urutan nada tertinggi), calung panepas (5 bilah bambu yang dimulai dengan nada terendah), calung jongjrong (5 bilah dimulai dari nada terendah pada calung panepas), dan calung gonggong (2 bilah dengan nada terendah). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panepas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong. Cara memainkannya adalah tangan kiri mengangkat atau memegang alat musik calung, sedangkan tangan kanan memegang alat pemukul. Permainan calung jinjing kerap dikolaborasikan dengan longser, sejenis teater rakyat mirip lenong Betawi, yang didalamnya terdapat dialog berisi pesan-pesan dalam gaya jenaka. Saat menyanyikan lagu-lagu Sunda iringan musiknya juga memadukan calung jinjing dengan alat musik tradisional lainnya yang biasa digunakan dalam kesenian longser. Seni Calung Jinjing ini dahulu banyak dijumpai di wilayah Sunda Bogor.

         Variasi nada pada permainan calung selain ditentukan oleh kualitas bahan, juga ditentukan oleh cara memukulnya. Terdapat beberapa teknik memukul calung di antaranya dikempreng, dirincik, dan dirangkep. Calung dahulu ditampilkan dalam ritual terkait kehidupan agraris masyarakat Sunda seperti upacara “Seren Taun” dan “Mapag Sri”. Saat ini guna melestarikan seni musik Calung Sunda, fungsi sakral pada musik Calung, berubah menjadi sakral dan profan.  Pergeseran fungsi menjadikan Calung Sunda dapat ditampilkan dalam berbagai acara seperti penyambutan tamu, pernikahan adat, dan perhelatan budaya lainnya, sehingga tidak hilang tertelan budaya modern.

 2. Angklung
              Berbicara tentang angklung tentunya tidak bisa dilepaskan dari daerah Jawa Barat. Alat musik multitonal atau bernada ganda ini memang berkembang di masyarakat Sunda. Dalam tradisi Sunda masa lalu, instrumen angklung sebenarnya memiliki fungsi ritual keagamaan – untuk mengundang Dewi Sri (Dewi padi lambang kemakmuran) agar turun ke bumi dan memberikan kesuburan pada padi.Angklung merupakan alat musik tradisional Jawa Barat yang terbuat dari potongan bambu.

 Alat musik ini terdiri dari 2 sampai 4 tabung bambu yang dirangkai menjadi satu dengan tali rotan. Tabung bambu diukir detail dan dipotong sedemikian rupa untuk menghasilkan nada tertentu ketika bingkai bambu digoyang.Kata ‘angklung’ sendiri berasal dari bahasa Sunda ‘angkleung-angkleungan’ yaitu gerakan pemain angklung, serta dari suara ‘klung’ yang dihasilkan instrumen bambu ini. Angklung sebenarnya merupakan pengembangan dari alat musik calung, yaitu tabung bambu yang dipukul. Sementara, angklung merupakan tabung bambu yang digoyang sehingga menghasilkan hanya satu nada untuk setiap instrumennya.Seiring perkembangan angklung, sejak November 2010, UNESCO telah menetapkan angklung sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Salah satu tempat yang masih melestarikan kebudayaan angklung adalah Saung Udjo. Di sanggar yang terletak di Kota Bandung ini, pengunjung tidak hanya dapat melihat berbagai jenis angklung, tapi juga belajar proses pembuatan angklung.