Indonesia sudah
diakui sebagai bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang tidak dimiliki
bangsa lain adalah kebudayaan dan kesenian musik. Memang Indonesia memiliki
ciri khas tersendiri mengenai kesenian musik di setiap daerahnya, setiap daerah
di Indonesia memiliki alat musik tradisional. Salah satu alat musik tradisional
yang populer adalah angklung.
Mungkin kebanyakan
orang hanya mengetahui alat musik tradisional ini secara umum, yaitu terbuat
dari bambu dan cara memainkannya digoyangkan. Namun sebagai bangsa yang baik
tentunya kita diharapkan mengetahui warisan budaya tidak hanya secara umum
namun secara detail. Dalam artikel ini akan dibahas secara tuntas mengenai alat
musik dari bambu tersebut.
Angklung adalah alat musik multitonal
(bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian
barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan
cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga
menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam
setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda
Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di
Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari
pipa-pipa bambu yang dipotong ujung-ujungnya menyerupai pipa-pipa dalam suatu
organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan
bunyi.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung
Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak
November 2010.
Kata “angklung” sendiri berasal dari 2 kata dari
bahasa Sunda, yaitu “angkleung-angkleung” yang berarti
diapung-apung dan “klung” yang merupakan suara yang dihasilkan
oleh alat musik tersebut. Dengan kata lain angklung berarti suara “klung” yang
dihasilkan dengan cara mengangkat atau mengapung-apungkan alat musik itu. Ada
teori lain yang mengatakan bahwa angklung berasal dari 2 kata dalam bahasa
Bali, yaitu “angka” yang berarti nada dan “lung” yang
berarti hilang. Sehingga angklung dapat diartikan sebagai nada yang hilang.
Angklung
merupakan alat musik berasal dari Jawa Barat yang terbuat dari beberapa pipa
bambu dengan berbagai ukuran yang dilekatkan pada sebuah bingkai bambu. Cara
memainkan alat musik angklung adalah satu tangan memegang bagian atas angklung
dan tangan lain memegang bagian bawah dari sisi lain angklung tersebut lalu
menggoyangkannya. Hal ini menyebabkan pipa-pipa bambu yang menyusun angklung
saling berbenturan menghasilkan suatu bunyi tertentu. Setiap satu alat musik
angklung hanya menghasilkan satu nada. Berbeda ukuran angklung yang digetarkan
atau digoyangkan menghasilkan nada yang berbeda pula. Oleh karena itu,
dibutuhkan beberapa pemain angklung untuk menghasilkan melodi yang indah untuk
didengar. Seorang pemain angklung dapat memainkan 2 atau 3 buah alat musik
angklung.
Tidak ada petunjuk akan sejak kapan
angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam
kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern,
sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.
Pada
abad ke 12 sampai abad ke 16 terdapat Kerajaan Sunda di Nusantara, diperkirakan
pada saat itulah awal dari sejarah angklung. Saat itu rakyat dari Kerajaan
Sunda mempercayai bahwa dengan memainkan alat musik angklung dapat menyenangkan
Nyai Sri Pohaci. Nyai Sri Pohaci sendiri dipercaya sebagai dewi kesuburan bagi
rakyat Kerajaan Sunda. Nyai Sri Pohaci yang terpikat dengan alunan alat musik
yang terbuat dari bambu itu akan turun dan membuat tanah para rakyat menjadi
subur dan menghasilkan tanaman apapun yang ditanam oleh rakyat saat itu.
Selain
untuk “mengundang” Nyai Sri Pohaci, angklung pun digunakan untuk membangkitkan
semangat para prajurit yang berperang. Oleh karena itu, pemerintah Hindia
Belanda pernah melarang alat musik ini untuk dimainkan. Larangan keras dari
pemerintah Hindia Belanda membuat pemain angklung semakin berkurang.
Perkembangan
Alat Musik Angklung
Permainan
angklung selalu ada di setiap acara perayaan panen sebagai persembahan untuk
Nyi Sri Pohaci. Seiring berjalanya waktu, permainan angklung dijadikan sebagai
arak-arakan setiap kali ada perayaan di tanah. Bahkan alat musik angklung dapat
menyebar tidak hanya di Jawa tapi sampai ke seluruh dunia. Pada awal abad ke
20, Thailand mengadopsi alat musik angklung sebagai misi kebudayaan antara
Thailand dan Indonesia. Bahkan angklung Buncis Sukaejo dapat ditemui di The
Evergreen Stage Collage, sebuah universitas di Amerika Serikat.
Udjo Ngalagena yang
dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan teknik angklung mengajarkan cara
memainkan angklung pada banyak orang. Beliau pun membangun Saung Angklung Udjo
di Bandung agar semakin banyak orang yang mengetahui sejarah angklung dan
seluk-beluknya. Sekarang Saung Angklung Udjo menjadi salah satu tempat wisata
di Bandung di mana setiap pengunjungnya dapat melihat sendiri proses pembuatan
sebuah angklung sampai aksi panggung yang dipentaskan setiap minggunya.
Angklung
Di Mata Dunia
Pada 2008 terdapat 11.000 pemain angklung di
Jakarta dan 5.000 pemain angklung di Washington DC dan memecahkan rekor terbaru
saat itu. Sejak November 2010, UNESCO sudah mencatat angklung sebagai Karya
Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Pada Konferensi Asia-Afrika
(KAA) April 2015 sebanyak 20.704 orang berkumpul bersama-sama di Stadiun
Siliwangi Bandung untuk memainkan lagu “I Will Survive” dan “We Are The World”
dengan menggunakan alat musik angklung. 4.117 di antaranya adalah anak
berkebutuhan khusus. Sejarah angklung telah berubah dari yang tadinya hanya
diperdengarkan di daerah Sunda sekarang seluruh dunia sudah mengenal musik
angklung.
0 Comments