Mari kita bahas jenis-jenis angklung
Jenis Angklung
Dalam
perkembangannya, alat musik ini memiliki banyak jenis yang tentunya dipengaruhi
oleh kebudayaan setempat dan faktor lainnya. Berikut ini jenis-jenis angklung :
Kesenian Dogdog Lojor terdapat di masyarakat
Kasepuhan Pancer Pangawinan yang merupakan Kesatuan Adat Banten Kidul yang
tersebar di sekitar Gunung Halimun. Dalam kesenian ini terdapat sebuah alat
musik Angklung Dogdog Lojor karena terdapat kaitannya dengan ritual padi.
Instrumen yang digunakan adalah dua buah Dogdog
Lojor dan empat buah angklung yang memiliki ukuran berbeda. Dari yang terbesar
dinamakan Gonggong, sedangkan yang lebih kecil memiliki nama Panembal, kemudian
Kingking, dan yang terkecil adalah Inclok. Setiap instrumen dimainkan oleh
seorang pemain, sehingga jumlah pemain Dogdog Lojor adalah enam orang.
Jenis alat musik angklung yang kedua adalah
kenekes. Seperti namanya, alat musik ini ditemukan di daerah Kenekes atau
sering disebutkan dengan orang Baduy, digunakan dalam ritus padi dan bukan
semata-mata hanya untuk hiburan. Angklung Kenekes biasanya dimainkan ketika
masyarakat Baduy menanam padi di ladang, atau berapa kegiatan lainnya yang
berkaitan dengan padi. Setelah digunakan dalam kegiatan menanam padi, alat
kesenian ini tidak boleh dimainkan lagi selama 6 bulan dan harus disimpan.
Namun, terkadang terdapat pertunjukan dengan
memanfaatkan alat musik ini. Dalam pertunjukannya, penabuh kenekes sebanyak
delapan orang dan tiga penabuh bedung kecil, membentuk bentuk lingkaran dalam
posisi berdiri. Alat musik ini memiliki beberapa ukuran dan nada yang berbeda
dari setiap ukurannya. Nama angklung dari yang paling besar adalah
indung, ringkung, dondon, gunjing, engklok, indug leutik, torolok, dan roel.
Sedangkan bedugnya dari yang terpanjang memiliki nama bedug, talinglit, dan
ketuk.
Di Kenekes, orang yang memiliki hak membuatnya
adalah orang Kejoran (Tangtu : Baduy Jero). Kejeroan terdiri dari 3 kampung
yaitu Cikartawana, Cikeusik, dan Cibeo, bahkan di ketiga kampung ini yang
memiliki hak untuk membuat angklung sangat terbatas. Hanya orang yang memiliki
darah keturunan perajin alat musik ini, dan dibuat dengan syarat-syarat
tertentu.
Dari namanya tentu sudah dapat ditebak apa
kegunaan instrumen tersebut, alat musik ini digunakan mengiringi Tarian Reog
Ponorogo dari Jawa Timur. Ciri khas alat musik ini adalah memiliki suara yang
keras dari angklung lainnya. Angklung Reog memiliki dua nada dan bentuk yang
menarik disertai hiasan yang indah berupa benam yang berumbai-rumbai.
Alat musik ini memiliki cerita peran penting
dalam kemenangan Kerajaan Bantarangin melawan Kerajaan Ladoya pada abad ke 9.
Para prajurit bergembira atas kemenangan tersebut, termasuk pemegang angklung,
dengan kekuatan yang besar, penguat tali lenggang dan akhirnya menghasilkan
suara yang keras.
Angklung Reyog pernah digunakan dalam pembuatan
film di tahun 1982 yaitu warok Singo Kobra dan di tahun 2011 yaitu Tendangan
Dari Langit. Alat musik ini juga digunakan untuk mengiringi lagu sumpah palapa,
kuto reog, campursari berbau ponorogoan, dan masih banyak lagi.
Angklung Banyuwangi berbentuk seperti calung
dengan nada budaya Banyuwangi. Pada tahun 1942 di masa penjajahan Jepang, lagu
Banyuwangi (tembang pusing) memasuki era baru. Dalam era baru ini, terdapatnya
alat musik angklung dalam keseniannya. Sebenarnya alat musik ini sudah ada
sejak zaman kerajaan Blambangan, namun instrumen ini biasanya untuk mengiringi
tarian.
Di Banyuwangi, alat musik tradisional ini
memiliki beberapa jenis di antaranya : Paglak, Caruk, Tetak, Dwi Laras, dan
perkembangan yang terakhir adalah Angklung Blambangan.
5.
Gubrag
Angklung Gubrag sudah berusia sangat tua, biasa
digunakan untuk menghormati dewi padi menurut masyarakat setempat. Alat musik
ini biasa digunakan dalam kegiatan menanam padi (elak pare), mengangkut
padi (ngunjal pare), dan menempatkan padi ke lumbung (ngadiukeun ke leuit).
Terdapat mitos bahwa angklung gubrag ada semenjak suatau musim paceklik panjang
yang dialami masyarakat Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor.
Alat musik ini sering digunakan ketika nandur
(tanam) padi,Penggunaan alat musik ini sebagai iring-iringan ketika nandur
bukan tanpa alasan. Masyarakat setempat percaya bahwa suara rampak yang keluar
dapat menggetarkan tumbuhan sehingga padi bisa tumbuh lebih baik.
Abah pukat (salah seorang dari kampung budaya
Sindang Barang) mengatakan “pernah datang seorang peneliti dari Jepang,
ternyata benar, tanaman padi yang diberi bunyi-bunyian akan lebih cepat
tumbuh”. Memang Jepang lebih maju dari negara lainnya, namun tidak meninggalkan
akar tradisi.
Angklung Toel diciptakan pada tahun 2008 oleh
Kang Yayan Udjo. Pada alat ini terdapat rangka setinggi pinggang dengan
angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya
sangat mudah, pemain hanya perlu men-toel angklung tersebut kemudian angklung
akan bergetar sendiri karena telah dipasangkan karet.
Sosok angklung ini terdiri dari rangka kayu yang
mewadahi 30 angklung dari nadaG3 – C6. Alat musik ini berjejer dalam 2 sap. Sap
bawah dekat dengan pemain yaitu nada penuh (G, A, B, C, dst). Sementara sap
atas terdiri dari nada-nada kromatis.
Bandeng merupakan nama kesenian yang menggunakan
angklung sebagai alat musik utama dalam pertunjukannya. Kesenian ini terdapat
di Desa Sanding, kecamatan Malangbong, Garut. Alat musik ini juga sudah ada
sangat lama dan digunakan untuk acara ritual penanaman padi. Selain itu,
angklung ini juga digunakan dalam kepentingan dakwah islam serta hiburan
masyarakat setempat.
Berdasarkan sejarah penyebaran Islam, penduduk
setempat belajar Islam ke Kerajaan Demak, telah pulang dari Demak, mereka
berdakwah. Cara dakwah masyarakat setempat dengan memanfaatkan kesenian badeng.
Jumlah alat musik tradisional yang digunakan berjumlah sembilan.
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat
hiburan yang di antaranya terdapat di Baros Anjarsari, Bandung. Angklung Buncis
dahulu digunakan dalam acara pertanian yang berhubungan dengan padi, namun
sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Angklung buncis beraras slendro
dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Dengan perkembangan zaman,
kesenian buncis jarang digunakan untuk keperluan ritual. Hal tersebut
disebabkan karena karena pandangan masyarakat sudah berubah mengenai
kepercayaan lama. Kesenian buncis digunakan untuk ritual mulai berakhir pada
tahun 1940, karena semenjak tahun itu kegunaan buncis hanya untuk hiburan
semata.
Alat musik ini dikenalkan oleh Daeng Soetigna
sejak tahun 1938. Laras yang digunakan oleh alat musik tradisional ini
menggunakan nada diatonik yang sesuai sistem musik barat. Dengan begitu, alat
musik tradisional ini dapat dimainkan dengan sistem musik internasional. Dapat
juga dimainkan dalam ansambel dengan alat musik internasional lainnya.
Berdasarkan sejarahnya, Pak Daeng mendapat
inspirasi membuat alat musik ini ketika ada dua orang pengemis memainkan lagu
Cis Kacang Buncis di depan rumah Pak Daeng dengan angklung. Kemudian beliau
membeli alat musik tersebut yang bernada pentatonik, padahal untuk mengajarkan
alat musik barat harus menggunakan nada diatonis. Karena hal tersebut, maka Pak
Daeng berniat membuat angklung diatonis. Kemudian beliau menemui Pak Djaja yang
merupakan seorang perajin angklung pentatonis, dengan senang hati Pak Djaja
membantu membuat angklung diakronis. Atas kerja sama mereka berdua, maka
terciptalah alat musik tradisional yang mudah dibuat dan murah. Hal ini terjadi
pada tahun 1938.
Alat musik ini merupakan gamelan yang tergolong
barungan madya dan berlaras slendro, tergolong barungan madya yang dibentuk
oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang. Instrumen musik ini dibentuk
oleh alat-alat gamelan yang relatif kecil dan ringan.
Di Bali Selatan, gamelan ini hanya menggunakan 4
nada, berbeda dengan Bali Utara yang mempergunakan 5 nada. Alat musik ini dapat
dibedakan menjadi 2 berdasar penggunaan materi tabuh dan penggunaan gamelan,
yaitu Angklung klasik : dimainkan mengiringi upacara (tanpa tarian), dan
angklung kebyar : digunakan mengiringi pagelaran tari maupun drama.
11.
Sarinande
Unit kecil sarinande berisi 8 nada yaitu do
rendah hingga do tinggi. Sedangkan sarinande plus memiliki 13 angklung dari sol
rendah hingga mi tinggi. Instrumen sarinande ini merupakan istilah untuk Padang
yang hanya memiliki nada bulat tanpa nada kromatis dengan nada dasar C.
12.
Sri-Murni
Angklung
ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan
robot angklung. Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung
suara yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal).
Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini,
robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk
menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.
0 Comments